NEWSPERISTIWAPOLITIKSUMUT

Massa Unjuk Rasa Tolak TPL Sandera Truk Pengangkut Kayu Gelondongan di Siantar

Sabtu, 05 Juni 2021, 16:39 WIB
Last Updated 2021-06-05T09:41:29Z
Gabungan mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam nama Gerilyawan di depan Universitas Simalungun menyandera mobil pengangkut kayu, Sabtu (5/6) siang 



P. SIANTAR-BERITAGAMBAR :

Sejumlah pemuda dan mahasiswa di Kota Pematangsiantar menggelar aksi penolakan atas masih beroperasinya PT Toba Pulo Lestari (TPL) di tanah Batak.


Aksi dilaksanakan, Sabtu (5/6/2021) siang di Jalan Sisingamangaraja (Depan Universitas Simalungun) dengan pengawasan aparat kepolisian.


Dalam aksinya mereka meminta PT TPL angkat kaki dari Sumatera Utara.


Perusahaan bubur kertas tersebut dianggap memberi dampak mudharat dibanding dampak positif pada kehidupan masyarakat lokal.



"Palao TPL Dame ma Bangso Batak," sebait lirik lagu yang dinyanyikan Arif Girsang, pemandu musik dalam aksi penolakan PT TPL ini.


Dalam aksinya, puluhan mahasiswa dan pemuda yang mengatasnamakan Gerilyawan sempat menyetop truk hijau pengangkut kayu yang diduga milik PT TPL saat hendak melintas.


Mereka menaiki dan mengibarkan bendera berwarna khas Batak.


Selain itu, mereka juga memasang poster bertuliskan 'Usir TPL' dan menggelar aksi teatrikal di depannya.


Gerilyawan menyebutkan daftar riwayat dampak buruk setelah hadirnya PT TPL pertama kali pada 22 Desember 1983 dengan nama awal PT Inti Indorayon Utama (PT IIU).


Setelahnya perlawanan demi perlawanan dilakukan masyarakat adat.


Pada Juli-Agustus 1987, operasional PT IIU di Kabupaten Toba mengakibatkan longsor yang menutupi areal sawah warga dan menewaskan 15 orang masyarakat.


Longsor lanjutan kembali terjadi dua bulan kemudian dan menewaskan 15 orang kembali.


Koordinator Aksi Dofaset Hutahean mengatakan, selama 30 tahun berdiri PT IIU yang kini bertransformasi dengan nama PT Toba Pulo Lestari telah mengakibatkan kerusakan alam, penebangan hutan yang masif yang mengakibatkan berkurangnya keseimbangan alam.


"TPL juga memberikan dampak negatif pada sosial masyarakat yang berdekatan dengan konsesi PT TPL di Porsea, Kabupaten Toba. Seperti tindakan intimidasi dan kriminalisasi masyarakat adat," kata Dofaset.


Ia mencontohkan, kasus yang dianggap membenturkan sesama masyarakat adalah kasus kericuhan pada 18 Mei 2020 di Desa Natumingka, yang mengakibatkan 12 warga luka-luka.


Padahal, ujarnya, menurut Konvensi ILO No.169 tahun 1986 menyatakan bahwa bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi penjajahan yang berkembang di daerah mereka. 


"Bangsa Batak sebagai kelompok masyarakat adat juga telah hidup berdampingan dengan alam dan menghasilkan kebudayaan melalui interaksinya dengan alam," katanya.


Dofaset mengatakan Bangsa Batak sudah bertani secara tradisional di sana untuk hidup bahkan menyekolahkan anak-anaknya dari sistem pertanian yang diwariskan orangtua turun temurun.(BG/NET)



TRENDINGMore