NASIONALNEWSPOLITIK

Peringati Peristiwa 27 Juli, PDIP Tuntut Penuntasan Kasus

Rabu, 27 Juli 2022, 13:59 WIB
Last Updated 2022-07-27T06:59:50Z

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto pimpin tabur bunga di areal Kantor DPP PDIP dalam rangka memperingati kasus 27 Juli 1996 lalu. 


JAKARTA-BERITAGAMBAR :

Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Indonesia Perjuangan (DIP) menggelar tabur bunga guna memperingati peristiwa penyerangan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996 lalu di Jalan Diponegoro No. 58, Menteng.


Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto memimpin acara tersebut bersama Ketua DPP Ribka Tjiptaning, Yanti Sukamdani, mantan tim pembela PDIP Tumbu Saraswati, serta puluhan keluarga korban yang biasa disebut Forum Komunikasi Kerukunan (FKK).


Acara diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.


Selanjutnya, Hasto dan Ribka memberikan orasi untuk mengenang peristiwa yang kerap disebut Kasus Kudatuli atau Sabtu Kelabu.


Ribka menyebut saat itu ada dukungan masyarakat yang memberi kekuatan terhadap Megawati melawan kekuatan rezim Orde Baru.


“Kita sekarang masuk tahun ke-26 memperingati Kudatuli. DPP PDIP menginginkan terus usut kasus ini. Kita juga sudah ke Komnas HAM. Kita minta jangan hanya bawahan pelaksana saja yang ditangkap tetapi aktor intelektualnya, apapun pangkatnya. Mereka semua masih bekeliaran tanpa proses hukum. Maka hari ini kita tabur bunga sama Pak Sekjen,” ucap Ribka.


Hasto mengatakan, pihaknya tak pernah melupakan satu peristiwa yang sangat penting yang mana 27 Juli 1996 sebenarnya merupakan suatu rangkaian yang sangat panjang.


Pria asal Yogyakarta itu pun mengurai rangkaian kisah yang memicu kasus 27 Juli.


“Pada momentum yang sangat tepat ketika intervensi  kekuasaan selalu hadir dalam peristiwa kongres PDI semua diatur oleh kekuasaan. Dari Asrama Haji Surabaya itu pada momentum yang sangat kritis, hadirlah Ibu Megawati memimpin gerakan moral rakyat. Itulah momentum yang Ibu Mega sering ceritakan kepada saya, bagaimana sebelum kongres dibubarkan, beliau mengambil momentum dan mengatakan secara de facto saya adalah ketua umum PDI. Itu lah cikal bakal perlawanan kekuatan arus bawah, karena pada sampai detik ini akibat proses intervensi Orde Baru adalah tradisi perlawanan,” urai Hasto.


Hasto pun menyinggung berbagai upaya dalam menggagalkan kepemimpinan Megawati.


“Maka pada akhirnya puncaknya dilakukan suatu rekayasan politik secara paksa. Ibu Mega sebagai ketua umum yang sah pada tanggal 27 Juli 1996 melihat bagaimana kantor partai ini diserang secara brutal dan kemudian timbul korban jiwa dan itu titik yang sangat gelap dalam demokrasi kita bagaimana pemerintahan menyerang parpol yang sebenarnya sah di mata hukum dan di mata rakyat,” lanjut Hasto.


Peringatan ini sangat penting, tambah Hasto, telah dilakukan doa besama dan memohon kepada Tuhan agar para arwah yang telah berkorban, yang menjadi korban, yang dikorbankan dalam peristiwa 27 Juli 1996 ditempatkan di surga, di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa,” sebut Hasto.


Ia melanjutkan bahwa peristiwa 27 Juli terus dituntut agar kebenaran ditegakkan, agar hukum ditegakkan.


“Esensinya yang paling berkeadilan, menghukum siapapun yang telah melakukan suatu skenario yang telah menciptakan tragedi kemanusiaan yang begitu kelam dalam sejarah demokrasi kita,” kata Hasto.


“Peristiwa 27 Juli suatu basis kekuatan moral tentang politik yang disampaikan Ibu Mega. Politik yang menyatu dengan kekuatan rakyat itu sendiri, karena itulah esensi dari kekuatan PDIP,” kata Hasto.


Kudatuli, Menggembleng Puan


Tragedi kerusuhan dua puluh tujuh juli menjadi salah satu sejarah kelam bagi perpolitikan Indonesia. Peristiwa pertumpahan darah itu meninggalkan kesan mendalam bagi putri Megawati, Puan Maharani.


Puan saat itu masih belia dan duduk di bangku kuliah, namun ia sudah aktif mendampingi ibunya dalam berbagai aktivitas politik. Begitu juga dalam peristiwa Kudatuli.


Puan menceritakan, saat itu ia dan Megawati sudah hendak berangkat ke kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, begitu mengetahui adanya sekelompok massa yang akan datang untuk mengambil alih kantor.


“Ibu saya bilang, ayo siap – siap kita ke diponegoro. Saya sudah siap tiba-tiba ditelpon lagi,” kata Puan.


Megawati kemudian diberi kabar bahwa situasi di Diponegoro makin genting sehingga ia diminta untuk menunggu.


Puan beserta Megawati dan ayahanda Taufik Kiemas pun akhirnya menunggu di rumah mereka di Kebagusan sambil terus memantau situasi dari jauh.


“Menit per menit itu semuanya kan report ke ibu saya. Sekarang ada beberapa truk yang mendekati DPP Diponegoro. Semua sudah turun berpakaian hitam-hitam. Sampai akhirnya terjadi peristiwa penyerangan, penyerbuan, pembakaran dan sebagainya,” terang Puan.


Tidak lama kemudian, Puan menyaksikan banyak orang dalam keadaan luka parah dibawa ke rumahnya di Kebagusan. Mereka adalah korban dari upaya pengambilalihan paksa kantor DPP PDI.


“Rumah sudah kayak tempat pengungsian,” kenang Puan.


Puan mengakui awalnya panik melihat banyaknya orang yang berdatangan ke rumahnya dengan kondisi luka-luka. Mereka awalnya hanya diberi pengobatan seadanya dengan peralatan PPPK yang ada di rumah Kebagusan.


Namun ia bersyukur banyak mendapatkan pertolongan, salah satunya adalah dari sejumlah dokter yang mengobati para korban luka.


Selama kondisi genting itu, Puan diberi tugas khusus. Sementara ayah dan ibunya sibuk dalam urusan politik, Ia diberi tugas untuk menyiapkan makanan bagi para simpatisan yang berkumpul di rumah Kebagusan.


“Masak apa yang cepat untuk orang sebanyak ini. Kita kan punya peralatan kecil,” kata Puan.


Akhirnya Puan pun meminta pembantu di rumahnya untuk memasak nasi dan sayur sop. Menu itu dipilih karena selain mengenyangkan juga bisa untuk banyak orang. Namun, pada akhirnya banyak bantuan makanan dari berbagai pihak yang datang ke Kebagusan.


“Alhamdulilah tanpa diminta banyak orang yang nyumbang, dari siapa-siapa saya juga enggak tau. Ada beras, pisang, tempe, tahu dan sebagainya. Di tengah kesusahan kita masih banyak orang baik yang mau datang untuk menolong,” kenang Puan.


Para simpatisan pendukung Megawati itu terus berkumpul di rumah Kebagusan sampai situasi politik yang panas mulai mereda.


Puan pun mengakui saat itu kuliahnya di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia sempat terganggu akibat kondisi di rumahnya itu.


“Saya masih kuliah waktu itu mau keluar rumah aja susah,” katanya.


Namun Puan dengan sekuat tenaga mencoba membantu perjuangan ibunya namun tetap bertanggungjawab atas kuliah yang diembannya.


Puan pun menilai peristiwa Kudatuli ini berperan menggembleng dan membentuk dirinya hingga ia menjadi menteri dan sekarang di posisi Ketua DPR RI.


“Kalau orang yang enggak tau dipikir Puan itu enak aja, enggak pernah susah hidupnya, cucunya Soekarno anaknya Megawati, dua-duanya pernah jadi presiden. Tapi ini sekelumit cerita yang orang juga banyak tidak tahu,” kata Puan. 

TRENDINGMore