BUDAYANEWSSAMOSIR

Pemkab Samosir dan Balar Gelar FGD Melacak Jejak Budaya Hidup Menetap Masyarakat Batak Toba di Samosir

Kamis, 29 April 2021, 05:31 WIB
Last Updated 2021-05-22T07:12:44Z

 

Peserta FGD melacak jejak Budaya hidup menetap Masyarakat Batak Toba di Samosir.

SAMOSIR-BERITAGAMBAR :

“Ada tiga desa lainnya yang menjadi bagian dari Kenegerian Limbong, yaitu: Boho, Sipitudai, dan Habeahan. Dulu sebelum menjadi salah satu kenegerian, Limbong menyatu dengan Sagala. Sagala juga praktis menjadi satu kenegerian pada masa kolonial. 


Namun jauh sebelumnya keduanya tercakup dalam satu ungkapan Sianjur Mulamula. Demikian setelah kemerdekaan kembali menyatu dalam administrasi Kecamatan Sianjur Mulamula,” ungkap Ketua tim penelitian Balar Arkeologi (Balar) Sumatera Utara, Ance pada forum group diskusi di Aek Rangat, Pangururan, Kamis (28/4).


Ia melanjutkan keterangan bahwa ada rekaman sastrawi tentang ungkapan Sianjur Mulamula melalui: Sianjur Mulamula sianjur mula tompa, mula ni ruma ijuk mula ni ruma gorga mula ni roha marbisuk mula ni jolma marroha (Sianjur kampung terawal desa bermula, awal dari rumah beratap ijuk dan berukir, awal dari hati nan arif dan bijaksana). 


 


Dalam penuturannya, Sianjur Mulamula dan Bakara menjadi dua contoh warisan alam karena keindahan lembah dan lahan pertaniannya yang berlimpah dengan sumber-sumber air.


“Demikian dengan beberapa tempat lainnya di kawasan Danau Toba dan Samosir, seperti di Sabulan sebagai bagian dari kawasan Ulu Darat. Hasil pertanian dapat menopang berbagai upacara, ritual, adat, dan hidup sehari-hari penduduk yang tinggal di sana,” sambungnya. 


“Horja bius adalah upacara tahunan yang terkait dengan pertanian dan dilaksanakan oleh federasi kampung,” tambahnya. 


Kampung sebagai hunian menjadi penting dalam konsep pengelolaan warisan alam karena warisan alam dapat memberikan pengaruh besar untuk perkembangan manusia dan budayanya. 


“Bentuk-bentuk ritual dilakukan oleh kelompok marga atau klan, seperti mandudu dan manganjab. Sekaligus untuk meminta dan menghormati alam seperti dalam ritual mangarontas,” terangnya. 


“Sedangkan praktik adat berlangsung untuk mengesahkan hubungan kekerabatan. Lalu, keseharian berlangsung sebaik mungkin dengan aturan-aturan yang sudah ada dan berevolusi,” sambungnya. 


Di tiga hunian di Desa Sari Marrihit dilakukan penggalian. Ketiga hunian itu adalah Lumban Damar, Lumban Gambiri, dan Lumban Pea. 


“Dari diri-ciri linguistik hunian seperti itu menunjukkan bahwa ketiganya merupakan perluasan kampung rintisan yang menggunakan kata huta,” tuturnya. 


Ia menjelaskan bahwa satu hunian yang tersebut sebagai lumban masih dapat mengalami perluasan dengan sebutan sosor. Satu huta dapat mencakup beberapa lumban dan sosor. 


“Jadi dari ciri-ciri linguistik itu ada hirarki yang diwariskan untuk membuat satu hunian. Di Sari Marrihit masih ada tersebut empat hunian lain sebagai lumban, yaitu Lumban Buttu, Lumban Tonga, Lumban Gorga, dan Lumban Nainggolan,” terangnya. 


Namun hunian lebih awal sebelum di perluas sebagai beberapa lumban tersebut belum dapat ditemukan atau dapat dipastikan oleh penduduk yang diwawancarai. 


“Satu dua hunian yang tergabung dalam tiga dusun di Sari Marrihit ada yang menggunakan kata huta seperti Uruk Ni Huta,” ungkapnya. 


Ia menjelaskan bahwa rumah-rumah tradisi, semi modern, dan modern dapat ditemukan di Sari Marrihit. 


“Empat kotak penggalian ditentukan di dekat rumah-rumah tradisi, terutama karena tinggalan lesung batu dan umpak di sekitarnya. Lesung batu merupakan tinggalan awal terkait pertanian padi yang juga difungsikan dalam upacara untuk pembuatan tepung beras dan lain-lain,” sambungnya.


Ia menyampaikan bahwa beberapa lesung batu di satu hunian secara praktis dapat ditemukan di depan, samping, dan belakang rumah. 


“Namun satu lesung batu seperti di Lumban Pea lebih besar dan diposisikan lebih tinggi dari halaman utama hunian. Satu dua lesung batu di tiga hunian sudah dijadikan sebagai penopang tembok halaman. Usia lesung-lesung batu diasumsikan tidak lebih dari 300 tahun (kira-kira 10 generasi),” pungkasnya.


Pemkab Samosir melalui Kadis Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Disbudpora) Waston Simbolon, sangat berterimakasih kepada Balai Arkeologi, karena telah melakukan penelitian di Kabupaten Samosir mencoba mencari jejak perkampungan-perkampungan seperti di Kecamatan Sitiotio, Sianjurmulamula, Onanrunggu, Simanindo dan seluruh kecamatan di Samosir.


"Karena 2 minggu ini mereka melakukan penelitian dan sosialisasi, apakah masyarakat senang apa yang dilakukan arkeolog dalam melakukan penelitian di desa masing-masing," katanya.


"Kepada peserta FGD, supaya dapat mengikuti acara sampai selesai dan membuahkan kesimpulan dan hasil untuk kita diskusikan lebih lanjut," ujar Simbolon.(BG/TS)






TRENDINGMore